Wednesday, May 18, 2011

Heran ......

Hmmmm...

ada yg membuatku heran sekali...
pagi ini aku mendengarkan teman2 ku berbicara ....

Berikut.....kutipan pembicarran mereka......

Boy :Den...kayaknya aku dah mulai bosan dengan berjudi....mau insyaf dan berhenti..tapi ga bisa-bisa....mgkn nanti aja kali ya..klu aku dah tua....umur 40 an gitu...

Deni :..wah bro....jgn insyaf dulu..ntar ga ada teman buat judi lagi neh...heheh
ntar aja insyafnya...umur 60 an...klu lu ga bisa lagi berjudi...eheheh

Aku :::: tersenyum kecut.....

pertanyaan timbul...dengan rasa heran ...

APAKAH MEREKA YAKIN AKAN BISA HIDUP SAMPAI SEUMUR ITU......??????
APAKAH MEREKA TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN KALAU BISA SAJA..NANTI SORE ATAU MALAM NYAWA MEREKA DI CABUT????

Hmmmm..sungguh aneh.......

Wednesday, May 11, 2011

Kebiasaan baik

Hati-Hati Dengan Kebiasaan Baik Kita Yang Hilang

Oleh Addy Aba Salma

Kita manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan memiliki 2 sifat. Sifat taqwa dan sifat fujur. Kedua sifat ini bisa menjadi potensi dalam diri kita.

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaannya”. (QS. Asy-Syam [91] : 8)

Disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir Rasulullah SAW ketika membaca ayat di atas, beliau diam sebentar dan membaca do’a: “Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketaqwaannya. Engkau Wali dan Pemeliharanya. Dan Sebaik-baik yang menyucikannya”.
Do’a itu baik juga kita panjatkan kepada Allah SWT, agar potensi taqwa senantiasa terdapat dalam diri kita. Ketika potensi sifat taqwa itu ada dalam diri kita, bersyukurlah kepada-Nya akan hal itu, dan cobalah semai potensi sifat taqwa itu, teruslah sirami dengan kebiasan-kebiasan baik amal shalih. Pelihara agar ia tetap terpatri di dalam diri kita. Yang semua itu dapat mensucikan jiwa. Dan kita akan termasuk orang-orang yang beruntung.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. (QS. Asy-Syam [91] : 9)
Taqwa adalah sifat yang sang pemiliknya akan menjadi seorang yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, karena memiliki karakter furqan. Taqwa adalah sifat yang sang pemiliknya akan selamat melawati jalan yang penuh dengan duri, karena ia memiliki cahaya untuk menerangi jalan. Taqwa adalah sifat yang sang pemiliknya akan termuliakan di dunia dan kelak di akhirat.
Kebiasan-kebiasan baik amal shalih kita, shalat berjama’ah tepat waktu, shalat sunah, tilawah qur’an, puasa sunah, shadaqah, menuntut ilmu, silaturahim, menjenguk orang sakit, sampai mengambil duri dan menyingkirkannya dari jalan adalah kebiasan-kebiasan baik amal shalih yang dapat memelihara sifat taqwa dalam diri kita.
Sebaliknya ketika kebiasan-kebiasaan baik amal shalih itu mulai hilang, maka perlahan-lahan sifat fujur akan ada dan berpotensi dalam diri kita. Sifat fujur yang ada dalam diri kita akan menyebabkan kita terjerembab dalam kubangan kelalaian dan kesalahan. Jauh dari perintah Allah SWT. Yang semua itu dapat mengotori jiwa. Dan kita akan termasuk orang-orang yang merugi. Oleh karenanya segeralah tinggalkan dan beristighfar kepada Allah SWT.

“dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Asy-Syam [91] : 10)
Awal dari potensi sifat fujur itu ada ketika kita mulai meninggalkan kebiasan-kebiasaan baik amal shalih kita, yang tadinya shalat berjamaah di masjid sekarang shalat sendiri di rumah, yang tadinya tilawah qur’an sekarang ditinggalkannya, shalat sunah terlupakan, menuntut ilmu diabaikan.
Tidak menutup kemungkinan dari menurunnya kualitas ibadah yang berarti juga menurunnya kualitas iman kita, perlahan-lahan kita mulai salah jalan dalam melangkah. Potensi sifat fujur itu akan semakin besar dan akhirnya kita akan jauh dari perintah Allah SWT.

Ketahuilah bahwa syaitan itu “sabar” dalam tujuannya untuk menyesatkan umat manusia dari jalan kebenaran yang lurus. Sampai datangnya hari kiamat syaitan akan senantiasa menggoda dan menyesatkan anak cucu Adam. Perlahan-lahan dan halus dalam menggoda sampai manusia terjerat. Menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa, sekalipun dosa itu adalah dosa kecil. Tidak memandang manusia, semua menjadi incaran syaitan untuk digodanya. Menggoda dari arah muka, dari arah belakang, dari arah kanan dan arah kiri kita. Menggoda manusia untuk diajak menikmati dunia tanpa batas. Mengajak untuk tidak bersyukur (taat) kepada Allah SWT. Dan mengajak manusia melupakan akhirat.
Diabadikan dalam Al Qur’an akan janji syaitan / iblis untuk meyesatkan semua manusia di muka bumi, firman-Nya: ”Iblis menjawab: ”Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raff [7] : 16-17)

Oleh karenanya hati-hati dengan kebiasaan baik kita yang hilang. Jika kebiasaan-kebiasaan baik amal shalih itu hilang, maka bisa jadi akan berpotensi menjadi kebiasaan jelek ada pada diri kita, yang kebiasaan itu mewakili sifat fujur. Dan itu adalah sebuah kesuksesan syetan dalam menggoda manusia, menjauhkan manusia dari jalan-Nya yang lurus.

Berusahalah untuk memelihara sifat taqwa dan meninggalkan sifat fujur yang ada dalam diri kita. Kita tinggalkan dengan mengisi hari-hari kita dengan senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, dan senantiasalah kita berdzikir kepada-Nya.
Didalam buku Tarbiyah Ruhiyah, Abdullah Nashih Ulwan menerangkan ada 5 jalan untuk memelihara ketaqwaan itu, pertama Mu’ahadah (Mengingat perjanjian), kedua Muroqobah (Merasakan Kesertaan Allah), ketiga Muhasabah (Instrospeksi diri), keempat Mu’aqobah (Pemberian sanksi), kelima Mujahadah (Bersungguh-sungguh). Mungkin kita bisa membaca buku itu untuk lebih jelasnya.
Dan potensi sifat taqwa itu akan selalu ada, selama kita masih bisa menghirup nikmat udara yang disediakan-Nya. Karenanya pintu taubat belumlah tertutup dan ketahuilah bahwa Allah SWT adalah Maha Pengampun kepada hamba-hamba-Nya yang memohon akan ampunan-Nya. Oleh karena itu bersegeralah meraih taqwa itu dengan senantiasa menjalankan segala apa yang diperintah tentunya dengan mencoba mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dengan beribadah dan beramal shalih kepada-Nya, dan berusaha menjauhi segenap larangan-Nya.

Kita bisa menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik amal shalih itu dengan tidak memaksakan dalam mengerjakannya. Sedikit-sedikit tetapi kita konsisten dan secara istimrariyah (terus-menerus) dalam mengerjakannya itu lebih baik, dan Allah SWT sangat menyukai itu. Dari pada kita paksakan harus menjalankan semua amal shalih yang harus dikerjakan tetapi tidak secara istimrariyah (terus-menerus).

“Amalan apa yang paling disukai Allah Ta’ala?” Jawab Rasulullah, “Amalan yang dikerjakan secara istimrariyah (terus menerus) walaupun sedikit”. (HR. Bukhari)
Bukankah kita mengharapkan ketika izrail datang untuk menjemput , didapatinya kita sedang berada dalam kebiasaan-kebiasaan baik amal shalih kita, yaitu perbuatan taqwa, yang insya Allah dengan itu berarti kita Husnul Khatimah. Tetapi apa jadinya ketika izrail datang menjemput, didapatinya kita sedang berada dalam kebiasaan-kebiasaan melanggar larangan-Nya, yaitu perbuatan fujur. Semoga tidak terjadi pada diri kita dan keluarga kita semua. Amin…

Wallahu a’lam

Tugas Kita, berbaik sangka

Tugas kita adalah berbaik sangka..

Seperti kisah tentang seekor keledai tua, milik seorang petani tua, yang terperosok ke dalam sebuah sumur tua. Ah, hari sudah sore.. Sumur itu gelap sekali. Petani itu begitu menyayangi keledainya, sahabat perjuangannya selama belasan tahun menyambung hidup. Maka dicobanya segala cara untuk mengeluarkan sang keledai.

Mula-mula dengan tali. Diulurkannya ke bawah. Diteriakinya sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya. Dan gagal. Lalu dibuatnya simpul laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai masuk ke laso. Ditariknya. Berat. Dan sang keledai berseru-seru serak. Oh itu lehernya terjerat. Gagal lagi. Dicobanya segala cara dengan tali. Dan ia gagal. Merasa tak berguna..

Lalu dicobanya mengulurkan sebatang bambu. “Jepitlah bambu ini dengan kaki-kakimu!”, teriaknya. Ditariknya lagi. Dan nihil. Segala cara bambu. Dan semuanya nihil hasil. Dicobanya pula balok-balok kayu. Dengan segala rekadaya. Dan ia makin lelah. Dan harapnya makin menguap. Merembes keluar dari jiwa bersama keringat yang mengkuyupi pakaiannya.

Matahari makin rendah di barat sana, hari kian menyenja. Dan sang petani telah mengambil keputusan bersama keputusasaannya. Ia akan menimbun sang keledai. Biarlah si keledai tua beristirahat di sana. Rehat yang tenang setelah belasan tahun pengabdian. Biarlah.. “Keledaiku tersayang.. Terimakasih atas persahabatan kita. Kini saatnya engkau beristirahat. Istirahatlah dengan tenang..” Matanya basah. Dadanya sesak. Tangisnya tertahan. Tapi dia mulai mengayunkan cangkul. Setimbun demi setimbun tanah meluncur ke dasar sumur.

Si keledai marah ketika segenggam tanah pertama mengenai punggungnya. Tapi makin lama, ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang jatuh di dekat kakinya. Kadangkala ia harus bergerak ke tepi, menghindari guyuran tanah dari atas. Atau menggoyang tubuhnya hebat-hebat, agar tanah yang menimpa punggung gugur ke bawah. Tapi ia terus naik. Tiap kali ada tanah jatuh, ia naik ke atasnya. Begitu terus..

Hingga senja sempurna menjadi malam. Dan sang petani yang bersedih mengira ia telah sempurna menguburkan keledai kesayangannya. Dalam lelah, dalam payah, dalam duka yang menyembilu hati ia berbaring di samping sumur. Sejenak memejamkan mata, menghayati gemuruh dalam dadanya. Dan saat itulah, sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar dari sumur tanpa kurang suatu apa.

Tugas kita adalah berbaik sangka. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai mushibah, seringkali bukanlah mushibah itu sendiri. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai penderitaan, bisa jadi adalah pertolongan Allah dari jalan yang tak kita sangka-sangka.

Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/12/tugas-kita-berbaik-sangka/